Assalamu'alaikum Pekanbaru,

(gambar : dari https://jalanblog.wordpress.com/2014/06/07/masjid-ar-rahman/)



Alhamdulillah empat tahun tidak isi blog, lama juga ternyata semua cerita empat tahun ini begitu banyak yang ingin ditulis di sini harus tersimpan. Mulai dari kehadiran si kecil, rutinitas kerja hingga kesibukan lain yang membuat diri sangat jarang membuka blog ini lagi.

Cerita hari ini, berbagi mengenai sebuah tausiyah yang diri terima pada hari kedua berada di negeri lancang kuning ini dalam agenda pekerjaan. Jadi di salah satu masjid yang berada di Kota Pekanbaru ini, ada suatu rutinitas kajian berupa tausiyah pendek yang disampaikan setelah azan Zhuhur sebelum melaksanakan Shalat Fardhu Zhuhur. Dalam papan pengumuman masjid ini terdapat jadwal tausiyah beserta ustadz yang memberikan tausiyahnya, rata-rata jika diri tidak salah lihat semua tausiyahnya diberikan sebelum shalat zhuhur.

Nah yang ingin diri bagi yaitu tausiyah tentang seorang laki-laki yang selalu disebut Nabi Muhammad SAW. Karena diri tidak terlalu bagus dalam menyusun kata-kata, berikut diri kutip dari laman sebelah tentang isi tausiyah tersebut  
 dikutip dari : https://cahayawahyu.wordpress.com/2014/08/05/sang-calon-penghuni-surga/

Ada sebuah kisah sederhana, tetapi sangat menarik untuk dicermati dan dijadikan sebagai ‘ibrah (pelajaran) tentang seorang ‘Calon Penghuni Surga”, yang pada saat Rasulullah s.a.w. berkisah, para sahabat pun memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi. Dan yang paling menarik, Sang Calon Penghuni Surga itu adalah seorang laki-laki yang ‘luput’ dari perhatian para sahabat dan tidak terduga sama sekali. Dia ‘orang biasa’ yang – menurut Rasulullah sa.w. — memiliki keutamaan dibanding para sahabat Rasulullah s.a.w.. Nah, Siapakah dia? Inilah ceritanya.
Anas ibn Malik – salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w. — menceritakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan an-Nasa’i, perihal orang yang disebut-sebut oleh Rasulullah s.a.w. sebagai calon penghuni surga.

Dari Anas ibn Malik, dia berkata: “Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah s.a.w., beliau bersabda, “Akan muncul kepada kalian seorang laki-laki penghuni surga”, lalu muncul seorang laki laki Anshar yang jenggotnya masih bertetesan sisa air wudhu, sambil menggantungkan kedua sandalnya pada tangan kirinya. Esok harinya Nabi s.a.w. bersabda seperti juga, lalu muncul laki-laki itu lagi seperti yang pertama, dan pada hari ketiga Nabi s.a.w. bersabda seperti itu juga dan muncul laki laki itu kembali seperti keadaannya yang pertama. Ketika Nabi s.a.w. berdiri, Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash r.a. mengikuti laki-laki tersebut dengan berujar” Kawan, saya ini sebenarnya sedang bertengkar dengan ayahku dan saya bersumpah untuk tidak menemuinya selama tiga hari, jika boleh, ijinkan saya tinggal di tempatmu hingga tiga malam”, “Tentu”, jawab laki-laki tersebut. Anas ibn Malik berkata, Abdullah r.a. (Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash) bercerita; aku tinggal bersama laki-laki tersebut selama tiga malam, anehnya tidak pernah aku temukan mengerjakan shalat malam sama sekali, hanya saja jika ia bangun dari tidurnya dan beranjak dari ranjangnya, lalu berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla dan bertakbir sampai ia mendirikan shalat fajar, selain itu juga dia tidak pernah mendengar dia berkata kecuali yang baik baik saja, maka ketika berlalu tiga malam dan hampir hampir saja saya menganggap remeh amalannya, saya berkata, “Wahai kawan, sebenarnya antara saya dengan ayahku sama sekali tidak ada percekcokan dan saling mendiamkan seperti yang telah saya katakan, akan tetapi saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda tentang dirimu tiga kali, “akan muncul pada kalian seorang laki-laki penghuni surga, lalu kamulah yang muncul tiga kali tersebut, maka saya ingin tinggal bersamamu agar dapat melihat apa saja yang kamu kerjakan hingga saya dapat mengikutinya, namun saya tidak pernah melihatmu mengerjakan amalan yang banyak, lalu amalan apa yang membuat Rasulullah s.a.w. sampai mengatakan engkau ahli surga?”, laki-laki itu menjawab, “Tidak ada amalan yang saya kerjakan melainkan seperti apa yang telah kamu lihat”, maka tatkala aku berpaling laki laki tersebut memanggilku dan berkata, “Tidak ada amalan yang saya kerjakan melainkan seperti apa yang telah kamu lihat, hanya saja saya tidak pernah mendapatkan pada diriku, rasa ingin menipu terhadap siapa pun dari kaum muslimin, dan saya juga tidak pernah merasa iri dengki kepada seorang atas kebaikan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang”, maka Abdullah r.a. berkata, “Inilah amalan yang menjadikanmu sampai pada derajat yang tidak bisa kami lakukan.” (HR Ahmad dari Anas ibn Malik, Musnad Ahmad ibn Hanbal, III/166, hadis no. 12720 dan HR An-Nasâi, Sunan an-Nasâiy, IX/318, hadis no. 10633)
Mendengar cerita dari laki-laki tersebut, Ia (Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash) pun “malu”, karena banyak dari kaum muslimin yang tidak atau paling tidak “kurang” memerhatikan akhlak tersebut. Tidak hanya ibadah mahdhah semata yang bisa mengantarkan manusia merasakan surga Allah, tetapi juga amalan kebaikan, termasuk sifat dan al-akhlâq al-karîmah. “Kemungkinan amalan inilah yang membuatmu mendapatkan derajat yang tinggi. Ini adalah amalan yang sangat sulit untuk dilakukan,” ujar Abdullah girang mendapat jawaban sekaligus pelajaran berharga. Ternyata, tidak sia-sia ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash menginap tiga hari bersama “Sang Calon Penghuni Surga” itu. Karena, ia mendapatkan pelajaran yang amat patut dicontoh dirinya maupun seluruh kaum muslimin.
Hati yang bersih dari prasangka buruk dan perasaan dengki kepada sesama hamba Allah, terlihat sederhana. Tapi justeru itulah yang sebenarnya paling sulit dilakukan. Barangkali kita mampu melaksanakan qiyâmullail, sujud, ruku’ di hadapan-Nya, tetapi amat sulit menghilangkan kedengkian kepada orang lain yang timbul dari apa yang Allah anugerahkan sesuatu kepada orang lain dan kita tak mendapatkannya. ”Inilah justeru yang belum dapat kita lakukan”, demikian kata ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash.

Ternyata, untuk masuk surga – menurut hadis di atas — hanya dibutuhkan tiga amalan:
Pertama, berusaha untuk tidak menyakiti orang lain.
Kita harus selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu-bapak kita, isteri dan anak-anak, kerabat, tetangga, dan semua orang yang hidup di sekeliling kita. Kita harus selalu menjaga diri, agar tidak ada orang yang tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatan kita.
Kedua, kita harus selalu berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena kita tahu bahwa Rasullullah s.a.w. tidak suka marah dan sangat mudah memaafkan.
Ketiga, kita harus selalu berusaha untuk menjaga silaturrahim, menjalin hubungan baik dengan siapa pun dan menyambungkan kembali silaturrahim yang ‘tengah atau telah’ terputus.


__akhir kutipan__





Demikian posting pertama setelah vakum kurang lebih empat tahun,

Wassalamualaikum warahamatullahi wabarakatuhu.

Pekanbaru, 011120172207

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Kedua

Berusahalah utk bersabar hingga datang saatnya untuk 'diselamatkan'...