Ibu Jangan Kerja

“Ibu jangan kerja,” suara Naufal terdengar parau, dia baru bangun tidur. Aku yang tengah memasang jilbab menoleh ke arahnya.

“Ibu kerja sebentar kok, Naufal di rumah sama ayah ya,” pintaku seraya menghampirinya.

Kebetulan hari ini suamiku libur, jadi kupikir dia bisa lebih tenang dari biasanya. Dia menggelengkan kepala, kulihat wajahnya mulai merebak tanda akan menangis.

Hampir tiap hari aku harus membujuknya agar dia tidak menangis ketika melepasku berangkat kerja. Sebenarnya aku kasihan melihat dia menangis setiap kali kutinggal berangkat kerja.

Jujur, jauh dihati kecilku, aku ingin semua waktuku kuberikan pada anak semata wayangku ini. Aku ingin terus berada di samping dia, menemaninya sepanjang hari.

Tapi keadaan mengharuskan aku bekerja, karena tidak mungkin kami hanya mengandalkan gaji suamiku yang hanya seorang guru honorer.

Walaupun aku hanya bekerja di perusahaan kecil, setidaknya gajiku bisa membantu mencukupi kebutuhan kami bertiga dan biaya sekolah Naufal kelak.

Untuk menemani Naufalpun kami tidak memakai pengasuh, kami kerja bergantian karena kebetulan aku bekerja shift.

“Ibu jangan kerja,” suara Naufal kembali terdengar, kali ini diiringi isak tangis. Bocah empat tahun itu mulai menarik-narik tanganku.

“Sayang, kalau ibu nggak kerja, nanti nggak bisa belikan susu buat Naufal, nggak bisa belikan mainan buat Naufal. Gimana dong?” aku coba memberi pengertian kepadanya.

“Apalagi Naufal kan udah mau sekolah, masa tiap ibu berangkat kerja pasti nangis,” sambungku lagi sambil mengelus-elus kepalanya.

“Pokoknya ibu jangan kerja,” kali ini suara Naufal hampir tak terdengar karena kalah dengan suara tangisnya.

“Main sepeda sama ayah yuk,” kali ini giliran suamiku membujuknya. Biasanya kalau dia sedang ngambek, kalau diajak main sepeda jadi terhibur.

Kulirik jarum jam di dinding menujukkan pukul setengah tujuh pagi, aku masih memiliki waktu sepuluh menit untuk menenangkannya.

“Nggak mau!” Naufal mulai berteriak, dan tangisnyapun semakin keras. Kali ini dia mulai menjejakkan kakinya ke lantai berkali-kali, kebiasaan dia kalau sedang marah.

“Nanti ibu belikan coklat ya, atau es krim?” tawarku coba menghentikan tangisnya sambil memeluknya.

Lagi-lagi Naufal menggeleng dan tangisnya tidak juga berhenti, malah semakin keras. Air matanya membasahi seragam yang kupakai.

“Ayo antar ibu kerja,” ajak suamiku sambil menggandeng tangannya. Tapi Naufal tetap menangis, dia tidak mau lepas dari pelukanku.

Kali ini aku mulai gelisah, kulirik kembali jarum jam di dinding. Hampir mendekati pukul tujuh pagi, aku harus segera berangkat. Tidak enak kalau sering terlambat, teman yang akan kugantikan shift jaga pasti sudah menunggu dengan gelisah.

“Naufal mau antar ibu?” tawarku sambil melepaskan pelukannya.

“Nggak mau!”dia berteriak sambil menangis bergulung di lantai.

Kesabaranku mulai hilang, terlebih aku sudah tidak punya waktu lagi untuk menenangkannya.

“Biar aku berangkat sendiri,” kataku kepada suamiku.

Sambil mengucap salam kuraih helm di atas meja. Kutinggalkan Naufal, tak kuhiraukan lagi tangisannya. Kulambaikan tangan kearahnya sambil cepat berlalu.

“Maafkan ibu, sayang," bisikku dalam hati.

Di kantor, suara tangis Naufal terus terngiang di telingaku membuat aku tidak tenang bekerja dan ingin segera pulang.

“Ibu jangan kerja,” kalimat itu terus terekam dalam benakku. Aku merasa bersalah tidak bisa memenuhi permintaan Naufal.

Waktu seakan lambat berputar, tidak secepat ketika aku sibuk menenangkan Naufal tadi pagi.

* * *

Tiba waktu pulang, aku bergegas menuju tempat parkir. Mendung terlihat menggantung di langit. Aku harus segera pulang, apalagi Naufal pasti sudah menunggu.

Lima belas menit kemudian aku tiba di rumah.

“Assalamu`alaikum,” aku mengucap salam sambil membuka pintu.

“Wa`alaikum salam,” jawab Naufal dan suamiku bersamaan.

“Ibu,” teriak Naufal sambil menghambur kearahku seakan lama tak berjumpa. Sambil memeluknya aku meyodorkan bungkusan plastik berisi es krim yang kubeli tadi.

“Makasih bu," serunya kegirangan. Selanjutnya dia telah asyik menikmati es krimnya.

Aku dan suamiku tersenyum melihat tingkahnya.

“Naufal senang ya dibelikan es krim?” tanya suamiku meledek.

Dia cuma mengangguk karena mulutnya penuh dengan es krim, “Besok mau dibelikan lagi?” aku ikut bertanya.

Kembali dia mengangguk.

“Besok ibu belikan lagi, tapi Naufal janji nggak nangis kalau ibu berangkat kerja ya?” pintaku sambil terus memandanginya.

Kulihat wajah Naufal jadi sedih. Kemudian dia mulai buka suara.

“Naufal nggak usah dibelikan es krim aja, tapi ibu jangan kerja,” katanya sambil memandangku penuh harap.

Aku dan suamiku saling berpandangan. Ternyata Naufal memang tidak ingin aku bekerja.

Terbayang dibenakku, besok pasti akan ada tangis dan teriakan darinya.

“Ibu jangan kerja!”

* * *

Spesial buat buah hatiku: Kelak jadilah manusia yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Amien.

((Muhana Dyah Sari))

http://eramuslim.com/oase-iman/ibu-jangan-kerja.htm


nb: hmm...sebuah pengalaman menarik, dan patut untuk dipertimbangkan... terima kasih utk mbak Muhana atas ceritanya... semoga menjadi keluarga Samara..AMIN...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Kedua

Berusahalah utk bersabar hingga datang saatnya untuk 'diselamatkan'...